Beranda | Artikel
Siapa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab?
Jumat, 2 Mei 2014

SIAPA SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB?

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb berasal dari keluarga (Âli) Musyarraf. Sedangkan keluarga Musyarraf merupakan cabang dari keluarga (Âli) Wuhabah. Dan keluarga Wuhabah adalah salah satu dari keluarga besar kabilah Banî Tamîm yang terkenal.[1]

Musyarraf, menurut riwayat yang râjih, adalah kakek Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb yang kesembilan. Jadi nama lengkap beliau adalah: Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb bin Sulaimân bin ‘Alî bin Muhammad bin Ahmad bin Râsyid bin Buraid bin Muhammad bin Buraid bin Musyarraf.[2]

Beliau berasal dari keluarga yang dikenal sebagai keluarga para Ulama. Dan pada abad ke XI Hijriyah, Ulama paling terkenal yang ada di Najed adalah kakek langsung beliau, yaitu Sulaimân bin ‘Alî yang menjabat sebagai Qâdhî (hakim agama) di Raudhah Sudair. Setelah berhenti, beliau pindah ke ‘Uyainah dan menjabat sebagai Qâdhî pula serta menjadi syaikh (guru ilmu-ilmu syar’i) bagi sejumlah penuntut ilmu. Di antara penuntut ilmu syar’i itu adalah dua orang puteranya yang bernama ‘Abdul-Wahhâb (ayah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb) dan Ibrahîm (paman beliau). Kelak ‘Abdul Wahhâb pun menjadi seorang ‘âlim yang kemudian menduduki jabatan Qâdhî di ‘Uyainah, sungguhpun tidak sebesar tingkat keilmuan ayahnya (Sulaimân).[3]

Singkat kata, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah dilahirkan di tengah keluarga Ulama yang bila ditinjau dari sisi kedudukan, berasal dari keluarga terpandang, dan bila ditinjau dari sisi ekonomi juga bukan dari keluarga miskin, karena orang tua maupun kakeknya adalah Qâdhî. Beliau dilahirkan di ‘Uyainah pada tahun 1115 H, atau kurang lebih tahun 1703 M.[4]

Demikian sekilas tentang nama, kelahiran serta keluarga tokoh Ulama mujaddid abad XII H , Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah .

BENARKAH SYAIKH MUHAMMAD BIN ‘ABDUL-WAHHÂB TIDAK MEMILIKI GURU?
Ada dua kemungkinan ketika orang berbicara miring tentang seseorang.

  1. Kemungkinan pertama, ia benar-benar tidak mengerti dan mengenal seseorang tersebut. Jika inilah kemungkinannya, mestinya ia tidak boleh berbicara tentangnya. Sebab berarti ia hanya berbicara secara serampangan, tidak berdasarkan ilmu. Orang-orang yang mengerti akan menertawakannya.
  2. Kemungkinan kedua, ia mengerti tetapi sangat membenci dan mendendamnya, sehingga yang dikatakannya tentang orang itu keluar dari hati yang penuh kedengkian. Jika demikian halnya, maka bisa dipastikan bahwa sebagian besar kata-katanya akan diwarnai kedustaan dalam rangka menjatuhkan orang yang sangat dibencinya itu.

Tampaknya demikianlah kata-kata miring tentang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah , hanya berasal dari salah satu dari dua kemungkinan di atas atau dua-duanya. Untuk itu perlu pemaparan serba sedikit tentang perjalanan beliau rahimahullah menuntut ilmu.

Masa kecil Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah lebih banyak dipergunakan untuk mempelajari al-Qur`ân, tidak banyak dipergunakan untuk bermain-main bersama teman sebayanya, sehingga beliau telah hafal al-Qur`ân sebelum umurnya mencapai 10 tahun. Beliau memiliki ketajaman pemahaman yang luar biasa, cerdas, cepat menghafal dan fasih pengucapan kata-katanya.[5]

Seperti telah dipaparkan sebelumnya, beliau rahimahullah lahir dari keluarga Ulama. Kakeknya seorang alim besar di zamannya dan juga sorang Qâdhî, demikian pula ayahnya. Maka jelas, beliau hidup dan tumbuh dalam lingkungan keluarga Ulama. Sehingga wajar semenjak kecilnya beliau sudah memiliki motivasi menuntut ilmu syar’i yang tinggi.

Sebelum beliau rahimahullah melakukan perjalanan jauh ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu, hal yang pertama kali beliau lakukan adalah menyibukkan diri dengan sungguh-sungguh menggali ilmu agama dari ayahnya sendiri. Maka dasar-dasar ilmu yang kuat sudah beliau miliki semenjak umur beliau berkisar antara sepuluh tahun di ‘Uyainah, salah satu daerah di Najed. Ayahnya sampai terheran-heran melihat semangat serta kecerdasan beliau.[6]  Bahkan ayahnya sempat berkata, “Aku benar-benar dapat mengambil banyak faidah hukum dari Muhammad, anakku.” Atau kata-kata senada.[7]

Beliau mencapai usia baligh sebelum usianya genap 12 (dua belas) tahun. Pada usia itu, sesudah usianya baligh, beliau sudah disuruh menjadi imam shalat oleh ayahnya, dan ayahnya pun menikahkannya.[8] Di sini jelas bahwa ayahnya merupakan salah satu gurunya.

Setelah itu, pada usia yang sama, beliau rahimahullah pergi haji memenuhi rukun Islam yang kelima dan selanjutnya beliau rahimahullah mengunjungi kota Madinah dan menetap di sana selama dua bulan, baru sesudah itu beliau kembali ke kampung halamannya.[9] Itu adalah perjalanan ibadah haji pertama beliau.[10]  Dan tampaknya, selama dua bulan beliau tinggal di Madinah beliau sempat menghadiri beberapa pelajaran dari beberapa Ulama di Masjid Nabawi. Tetapi yang paling berpengaruh bagi beliau adalah ketika bertemu dengan dua orang Ulama besar yang kelak menjadi guru-gurunya pula pada pengembaraan ilmiah berikutnya, yaitu Syaikh ‘Abdullâh bin Ibrâhîm bin Saif dan Syaikh Muhammad Hayât as-Sindî.[11]

Syaikh ‘Abdullâh bin Ibrâhîm bin Saif adalah seorang Ulama yang ahli dalam bidang fiqih Hanbalî dan dalam bidang hadits. Juga pengagum Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah.[12] Berasal dari keluarga Âl Saif yang selalu menjadi kepala pemerintahan di daerah Majma’ah, suatu daerah yang ada di wilayah Sudair di Najed.[13] Beliau juga adalah ayah dari Syaikh Ibrâhîm bin ‘Abdullâh bin Ibrâhîm bin Saif, penyusun Kitab al-‘Adzbu al-Fâidh, Syarh Alfiyati al-Farâ-idh.[14]

Sedangkan Syaikh Muhammad Hayât as-Sindî adalah seorang Ulama bidang hadits, berasal dari Sindustan yang kemudian menetap dan wafat di Madinah.[15] Di samping sebagai seorang tokoh Ulama bidang hadits dan ‘Ulûm al-Hadîts, beliau juga seorang tokoh penyeru ijtihad dalam masalah syari’at, dan penentang ta’ash-shub madzhabî (fanatisme madzhab). Beliaupun dikenal sebagai orang yang paling keras memerangi bid’ah dan perbuatan-perbuatan yang bisa menjadi tangga menuju syirik.[16]

Sepulang dari perjalanan itu beliau lebih bersemangat lagi menuntut ilmu. Di samping memperdalam ilmu fiqih madzhab Ahmad bin Hanbal kepada ayahnya, beliau juga rajin mempelajari kitab tafsir, hadits dan tauhid serta menelaah pendapat para Ulama.[17]

Selanjutnya beliau mengembara untuk menuntut ilmu syar’i ke berbagai negeri yang berdekatan dan berguru kepada para Ulama besar di negeri-negeri tersebut. Beliau pergi ke Hijaz dan Bashrah beberapa kali, juga ke Ahsâ`.[18]  Pada pengembaraan yang memakan waktu lebih panjang inilah beliau secara lebih mendalam mempelajari ilmu-ilmu syar’i kepada para Ulama gurunya. Sebagian di antaranya adalah para Ulama terkenal yang sudah disebut namanya di atas.

Sementara di Bashrah, beliau berguru pula kepada banyak Ulama tentang hadits dan fiqih. Juga tentang ilmu nahwu hingga betul-betul menguasainya.[19]  Salah satu di antara Ulama itu berasal dari daerah Majmû’ah di Bashrah, yaitu Syaikh Muhammad al-Majmû’î, seorang Ulama yang beserta anak-anaknya termasuk keluarga yang terkenal sebagai orang-orang shalih dan berpegang pada ajaran tauhid.[20] Sedangkan di Ahsâ`, beliau juga bertemu dengan para Ulama, di antaranya Syaikh  ‘Abdullâh bin Muhammad bin ‘Abdul Lathîf asy-Syâfi’î al-Ahsâ-î.[21]

Jadi tidak benar kalau beliau dinyatakan tidak mempunyai guru. Bahkan guru-guru beliau cukup banyak, dan merupakan para Ulama yang dikenal di zaman itu, baik di ‘Uyainah, Madinah, Bashrah, Ahsâ` maupun di tempat lain. Yang sangat menonjol di antara guru-guru beliau, adalah yang sudah disebutkan di atas. Bahkan beliau juga mendapat ijazah dan sanad, di antaranya dalam riwayat hadits, dari Syaikh’Abdullâh bin Ibrâhîm bin Saif an-Najdî al-Madanî.[22]

BENARKAH BELIAU TIDAK MEMILIKI KARYA MONUMENTAL?
Karena kondisi masyarakat yang menuntut beliau rahimahullah sibuk terjun langsung menangani da’wah, maka beliau memang tidak menyusun kitab karya besar yang berjilid-jilid. Tetapi bukan berarti bahwa karya beliau tidak banyak. Dan tidak berarti pula beliau tidak memiliki karya-karya monumental.  Bahkan beliau banyak memiliki karya yang monumental. Meskipun banyak di antara karyanya yang ringkas dan padat, tetapi ternyata banyak Ulama yang kemudian mensyarah karya-karya ringkas beliau. Banyak karya ringkasnya memiliki lebih dari satu syarah dari para Ulama. Mengapa? Tentu karena pentingnya karya yang beliau susun. Singkat namun sarat berisi pelajaran yang perlu digali, dikaji dan disampaikan kepada khalayak.

Sebagai contoh, kitab karya beliau yang berjudul Kibâb at-Tauhîd al-Ladzî Huwa Haqqullâh ‘alâ al-‘Abîd, lebih dari lima orang Ulama yang telah mensyarahnya, dan kitab asli maupun kitab syarahnya selalu dikaji semenjak dahulu hingga sekarang. Demikian pula Kitab Kasyfu asy-Syubuhât, Kitab Ushûl as-Sittah dan lain-lain, terdapat beberapa Ulama yang telah mensyarahnya.

Orang-orang yang cerdas akan memahami dan mengakui kehebatan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah , justeru karena singkat dan padatnya karya tersebut, namun sarat dengan ilmu. Kehebatan beliau antara lain terletak pada sikap tanggap beliau bahwa pada saat itu yang tepat adalah menyusun karya-karya ringkas dan praktis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Hanya orang-orang dangkal, picik dan miskin pengalaman saja yang mengatakan bahwa ukuran kehebatan keulamaan seseorang ditentukan oleh banyak dan besarnya karya yang dihasilkannya. Sehingga jika karya-karya yang dihasilkan seseorang hanya singkat saja meskipun padat dan sarat ilmu, dianggap tidak berarti.

Karya-karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah , meskipun kebanyakan merupakan karya ringkas, namun jutaan umat Islam yang membutuhkannya. Mereka berulang-ulang membacanya, mempelajari kandungan pesan-pesannya dan mengamalkan kebenaran yang ada di dalamnya. Bahkan karya-karya beliau rahimahullah selalu dibaca dan dicetak ulang sejak beliau masih hidup sampai beberapa ratus tahun kemudian hingga sekarang. Karya ilmiah yang bermanfaat, semoga pahalanya selalu mengalir kepada pemiliknya, sesuai dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. رواه مسلم

Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputus darinya (pahala) amalnya kecuali tiga hal: kecuali shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakannya. (HR Muslim).[23]

Karya-karya beliau tidak sama dengan karya-karya para pembencinya yang sarat dengan kedengkian, dendam, hasutan dan caci maki. Namun karya beliau sarat dengan petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah sesuai dengan pemahaman Ahlu Sunnah wal-Jama’ah. Kalaupun terdapat kekeliruan, itu adalah karena beliau manusia biasa yang tidak ma’shûm dari kesalahan, dan itupun tidak dominan.

BENARKAH BELIAU HAUS DARAH?
Gambaran yang dikesankan secara licik, tidak gentle dan jauh dari jujur oleh para pembencinya adalah bahwa beliau rahimahullah merupakan orang kasar yang buas terhadap siapa saja yang tidak sejalan dengannya. Benarkah demikian? Bukankah justeru para pembencinya, orang-orang yang sejatinya tidak benar-benar siap menerima kebenaran, itulah orang-orang yang selalu merasa bahwa dirinya harus diikuti kemauannya? Jika kalah hujjah, bukankah fisik mereka yang akan berbicara, terutama jika memiliki kekuatan massa, meskipun dengan jalan yang melanggar syari’at?

Untuk mendukung semangat antipatinya, mereka membesar-besarkan penyematan sebutan Wahabi kepada orang-orang yang dianggap pengikut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah .[24] Itupun dengan generalisasi sebutan kepada setiap orang yang dianggap lawan. Meskipun sebenarnya banyak di antara yang disebut wahabi itu justeru berlawanan pandangannya dengan prinsip Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah . Penyebutan wahabi itu sendiri sesungguhnya tidak jelas asal-usulnya, kecuali dari musuh-musuh beliau.

Khairuddîn az-Ziriklî, seorang penulis abad 20, yang menyusun berjilid-jilid buku biografi tokoh dunia berjudul al-A’lâm, Qâmûs Tarâjum li Asyhari ar-Rijâl wa an-Nisâˈ min al-‘Arab, wa al- Musta’ribîn wa al-Mustasyriqîn, memuat tokoh mana saja yang dianggap berpengaruh, baik dari berbagai aliran umat Islam, maupun tokoh-tokoh orientalis. Ia telah secara jujur dan jelas memuat nama harum Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah .

Di antaranya az-Ziriklî mengatakan, “Orang-orang yang setia dan mendukung da’wah beliau (Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah ) di jantung Jazirah Arab dikenal sebagai ahli tauhid, yaitu Ikhwân Man Athâ’a Allâh (para saudara yang taat kepada Allâh). Sementara lawan-lawan mereka menamainya sebagai Wahabiyûn. Nisbat kepada Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb. Akhirnya sebutan Wahabi ini menjadi sangat populer di kalangan orang-orang Eropa dan mereka memasukkannya ke dalam buku-buku biografi karya mereka. Tetapi sebagian penulisnya telah salah ketika menganggap bahwa ini adalah madzhab baru dalam Islam, sebabnya adalah karena mengekor saja pada cerita bohong yang diada-adakan oleh lawan-lawan beliau. Yaitu, terutama, para propagandis dari orang-orang yang menyebut diri sebagai khalifah-khalifah Utsmaniyah di Turki.[25]

Jadi menurut az-Ziriklî, sebenarnya sebutan Wahabi berasal dari lawan-lawan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah . Yaitu, lawan-lawan yang kebenciannya terhadap beliau mencapai puncak ubun-ubun, karena da’wah yang beliau sampaikan tidak pernah kunjung padam, da’wah yang merupakan kepanjangan tangan dari da’wah para Ulama sebelumnya. Da’wah yang menghidupkan serta menyegarkan kembali ajaran dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Sementara itu para penguasa Turki yang menyebut diri sebagai dinasti Khilafah Utsmaniyah menjadi gerah dengan munculnya sebuah negara yang semakin kuat di Jazirah Arab akibat keberhasilan da’wah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah yang di dukung oleh Imam Muhammad bin Su’ûd.

Jauh sebelum kemunculan negeri tauhid yang aman dengan pusat pemerintahan di Dir’iyyah, umumnya wilayah Najed sesungguhnya berada di luar kemampuan kontrol Khilafah Utsmaniyah. Wilayah yang sebelum kehadiran da’wah tauhid selalu diwarnai oleh kebatilan, kekufuran, kemusyrikan dan pertumpahan darah akibat perseteruan antar kabilah atau akibat perebutan kekuasaan yang tidak pernah berhenti; begitu da’wah tauhid masuk dan negara tegak, maka menjadi amanlah keadaan. Dan yang perlu difahami, negeri yang muncul dengan da’wahnya ini tidak pernah menyatakan keluar untuk melakukan penentangan terhadap pusat kekuasaan Khilafah Utsmaniyah di Turki. Hanya karena kekhawatiran berlebih dari para penguasa Khilafah Utsmaniyah-lah, maka pada penghujung berakhirnya Negara Saudi Arabia pertama, melalui para Basya yang berkuasa di Mesir, mereka melakukan penyerangan hingga tumbanglah negeri tersebut. Maka kembalilah kondisi menjadi kacau, pertumpahan darah kembali mewarnai kehidupan umat akibat perkelahian antar kabilah atau perebutan kekuasaan antar penguasa-penguasa kecil. Masyarakat tidak lagi merasa tenteram. Penguasa wilayah selalu dibayangi maut. Sementara Mesir tidak pernah mampu mengurus dan mengontrolnya.[26]

Tentang sejarah awal berkembangnya cikal bakal Negeri Saudi Arabia itu sendiri beserta peristiwa-peristiwa yang menyertainya, telah diceritakan antara lain oleh Huhsain bin Ghunnâm, salah seorang murid Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah ,dalam Târîkh Najed (Raudhatu al-Afkâr wa al-Afhâm li Murtâd Hâli al-Imâm wa Ti’dâd Ghazawât Dzawî al-Islâm).[27] Sejarah yang dapat dipercaya, karena ditulis oleh seorang muslim yang ‘âlim dan adil.

Inti sarinya adalah bahwa semenjak da’wah tauhid di Nejed, yang kala itu berpusat di Dir’iyyhah, menjadi kuat dengan dukungan pemerintahan, maka pemerintahan dengan kekuatan da’wahnya selalu dibanjiri warga-warga baru yang berbondong-bondong ingin bergabung ke dalamnya. Sebagian besar warga baru yang datang adalah karena haus akan kebenaran da’wah yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah . Sementara beliau juga rajin mengajak para Ulama dan para pemimpin negeri-negeri tetangga untuk bergabung dengan negara baru yang berdiri atas dasar da’wah tauhid ini. Maka bergabunglah para pemimpin sebagian negeri tersebut, termasuk pemimpin negeri ‘Uyainah, Huraimilâ dan Manfûhah.

Perkembangan da’wah ini tentu menimbulkan kekhawatiran para pemimpin negeri sekitar yang anti terhadap kebenaran. Padahal Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah sebagai tokoh Ulama dan Imam Muhammad bin Su’ûd rahimahullah sebagai negarawan, tidak henti-hentinya berusaha memberikan nasihat serta mengajak para pemimpin tersebut dengan cara hikmah untuk kembali kepada ajaran Islam menurut syari’at Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bergabung menciptakan kedamaian bernegara. Salah satu contohnya adalah kepada seorang penguasa Riyadh yang bernama Dahâm bin Dawwâs. Tetapi orang ini terkenal licik dan semena-mena terhadap rakyatnya. Ia memperoleh kekuasaan di Riyadh pun dengan cara licik, curang dan keji terhadap ahli waris yang sebenarnya.

Ayahnya, Dawwâs, yang pernah berkuasa di wilayah Manfûhah, juga terkenal memiliki watak kejam. Awalnya Dahâm bin Dawwâs tidak pernah menunjukkan permusuhannya secara langsung terhadap da’wah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah serta kekuasaan Imam Muhammad bin Su’ûd rahimahullah. Bahkan ketika Dahâm menghadapi upaya pemberontakan rakyatnya, ia meminta bantuan Imam Muhammad bin Su’ûd rahimahullah yang dengan senang hati memenuhinya.

Namun Dahâm memang sangat membenci da’wah tauhid dan memusuhi pemerintahan yang berpusat di Dir’iyyah. Setiap ia mengetahui ada warganya yang taat beragama Islam, selalu ditindas dengan kekejiannya. Sehingga pada akhirnya, ketika ia mendengar bahwa wilayah Manfûhah sudah bergabung dengan Dir’iyyah, maka secara licik dan khianat ia melakukan penyerbuan ke Manfûhah, apalagi ia memiliki dendam lama terhadap warga Manfûhah karena keluarganya terbunuh dan terusir dari sana akibat ulah sendiri. Sementara pemimpin dan warga Manfûhah tidak menaruh curiga sama sekali karena Dahâm selalu menampakkan persahabatannya terhadap Imam Muhammad bin Su’ûd. Tetapi Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki makarnya sukses. Sebagian warga Manfûhah ternyata sempat mengetahui tindakannya. Akhirnya Dir’iyyahpun sempat mengirimkan bantuan untuk memberikan perlawanan kepada pasukan penyerbu. Hasilnya Dahâm bin Dawwâs mengalami kekalahan telak dan terpaksa melarikan diri dari Manfûhah menuju Riyadh dengan membawa luka-luka dan jari-jari kakinya putus.[28] Tentu musuh-musuh tauhid bukan hanya Dahâm bin Dawwâs, tetapi demikian secara ringkas, contoh dari kisah awal bagi mulainya pertempuran-pertempuran yang ada, yang awalnya karena kecurangan, kelicikan dan kedengkian musuh.

Maka tidak benar jika Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah dikatakan haus darah, bahkan jika seseorang dengan jujur membaca risalah-risalah yang beliau kirimkan waktu itu kepada para tokoh, pemimpin dan Ulama di negeri-negeri sekitar, ia akan dapat menarik kesimpulan bahwa risalah-risalah itu berisi kebenaran, jauh dari provokasi dan hasutan untuk tujuan pertumpahan darah. Risalah-risalah itu diutarakan dengan bahasa lugas, jelas, terbuka, namun sopan dan penuh hikmah serta kuat hujjahnya hingga sulit terbantahkan. Di dalamnya hanya berisi ajakan berfikir, ajakan amar ma’ruf nahi munkar, ajakan untuk tidak membiarkan umat dalam kejahatan dan kegelapan. Ajakan yang intinya supaya hanya beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala saja serta meninggalkan kemusyrikan dan kema’siatan. Dan itu langsung ditujukan kepada orang yang menjadi tujuannya. Bukan hasutan, atau caci makian atau kekejian. Kemudian sebagian lain dari risalah itu berisi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang masuk, dan sebagian lainnya lagi merupakan penjelasan terhadap apa yang dituduhkan secara tidak benar kepada beliau. Huhsain bin Ghunnâm dalam Târîkh Najed[29] telah memuat banyak di antara risalah-risalah beliau itu.

Ini menunjukkan kekuatan ilmu, hujjah, hikmah serta kesabaran dan kepribadian hebat penulisnya, yaitu Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhâb rahimahullah . Tidak ada seorang pun di antara para pembencinya di zaman dahulu yang dengan gentle melawan hujjahnya, kecuali dengan kelicikan, kecurangan, pengkhianatan, isu-isu dusta dan terakhir dengan tindakan fisik.

Jadi tidak ada bukti sama sekali tentang sejarah berdarah itu, yang ada justeru terciptanya kedamaian, karena sejak semula da’wah beliau sudah diawali dengan kedamaian, meskipun tegas, lugas dan kuat hujjahnya, namun tidak kasar. Jika da’wah tersebut diawali dengan ujung pedang, atau diwarnai intrik politik yang busuk, atau dilakukan dengan sikap kasar, penuh tekanan dan permusuhan, apa mungkin –sesudah taufiq All- da’wah itu bisa sukses dan mampu menggugah kesadaran umat hingga sekarang, sedangkan beliau pun tetap dikagumi dan disegani baik oleh kawan maupun lawan, terutama yang gentle?

Walillâhi al-Hamdu wa al-Minnah.

Maraji`:

  1. Târîkh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’ûdiyyah, ‘Abdullâh ash-Shâlih al-‘Utsaimîn, Juz I, cet. XVI, 1432 H/2011 M.
  2. Târîkh Najed (Raudhatu al-Afhâm wa al-Afkâr Li Murtâd Hâli al-Imâm wa Ti’dâd Ghazawât Dzawî al-Islâm), karya Imam Husain bin Ghunnâm, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî wa Aulâdi, Mesir, cet. I, th. 1368 H/1949 M.
  3. Unwân al-Majd Fî Târîkh Najed, Maktabah ar-Riyâdh al-Hadîtsah, Riyadh, karya al-‘Allâmah al-Muhaqqiq ‘Utsmân bin Bisyr an-Najdî, tanpa tahun.
  4. Shahîh Muslim Bi Syarhi an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Maˈmûn Syîhâ, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M.
  5. Al-A’lâm, Qâmûs Tarâjum li Asyhari ar-Rijâl wa an-Nisâˈ min al-‘Arab, wa al- Musta’ribîn wa al-Mustasyriqîn, karya az-Ziriklî (ejaan b. Inggris Al-Zerekly), Dâr al-‘Ilmi Lil Malâyîn. Zuhair Fathullah, musyrif pencetakan yang ke IV, dalam mukadimahnya membubuhkan angka tahun 1979 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Perhatikan Târîkh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’ûdiyyah, Dr. ‘Abdullâh ash-Shâlih al-‘Utsaimîn, Juz I, cet. XVI, 1432 H/2011 M, hlm. 65.
[2] Ibid. Lihat pula Târîkh Najed (Raudhatu al-Afhâm wa al-Afkâr), karya Imam Husain bin Ghunnâm, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafâ al-Bâbî al-Halabî wa Aulâdi, Mesir, cet. I, th. 1368 H/1949 M, I/25, al-Fashlu ats-Tsânî.
[3] Perhatikan Târîkh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’ûdiyyah, op.cit. I/65-66.
[4] Ibid. I/66, dll.
[5] Târîkh Najed (Raudhatu al-Afhâm wa al-Afkâr), karya Imam Husain bin Ghunnâm, op.cit. I/25.
[6] Târîkh Najed (Raudhatu al-Afhâm wa al-Afkâr), karya Imam Husain bin Ghunnâm, op.cit. I/25.
[7] Târîkh Najed (Raudhatu al-Afhâm wa al-Afkâr), karya Imam Husain bin Ghunnâm, op.cit. I/25
[8] Târîkh Najed (Raudhatu al-Afhâm wa al-Afkâr), karya Imam Husain bin Ghunnâm, op.cit. I/26
[9] Târîkh Najed (Raudhatu al-Afhâm wa al-Afkâr), karya Imam Husain bin Ghunnâm, op.cit. I/26
[10] Târîkh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’ûdiyyah, op.cit. I/69
[11] Târîkh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’ûdiyyah, op.cit. I/69.
[12] Târîkh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’ûdiyyah, op.cit. I/71.
[13] ‘Unwân al-Majd Fî Târîkh Najed, Maktabah ar-Riyâdh al-Hadîtsah, Riyadh, karya al-‘Allâmah al-Muhaqqiq ‘Utsmân bin Bisyr an-Najdî, tanpa tahun, I/7, sub judul: Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb Rahimahullâh.
[14] Ibid. Lihat pula al-A’lâm, karya az-Ziriklî (ejaan b. Inggris Al-Zerekly), Dâr al-‘Ilmi Lil Malâyîn. Zuhair Fathullah, musyrif pencetakan yang ke IV, dalam mukadimahnya membubuhkan angka tahun 1979 M, I/50, pada materi Asy-Syammarý; Ibrâhîm bin ‘Abdullâh bin Ibrâhîm bin Saif.  
[15] Lihat al-A’lâm, karya az-Ziriklî, op. cit. VI/111. Lihat pula Târîkh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’ûdiyyah, op.cit. I/71.
[16] Perhatikan Târîkh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’ûdiyyah, op.cit. I/71.
[17] Ibid I/69. Lihat pula ‘Unwân al-Majd Fî Târîkh Najed, I/6.
[18] Târîkh Najed (Raudhatu al-Afhâm wa al-Afkâr), I/26
[19] Ibid I/27.
[20] ‘Unwân al-Majd Fî Târîkh Najed, op.cit. I/8
[21] Ibid.
[22] Târîkh Najed (Raudhatu al-Afhâm wa al-Afkâr), I/26-27.
[23] Shahîh Muslim bi Syarhi an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Maˈmûn Syîhâ, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M, XI/87, no. 4199.
[24] Akhir-akhir ini secara gencar mereka memaksakan diri menyebarkan opini buruk baru dengan head line ‘Salafi Wahabi’ .
[25] Lihat al-A’lâm, karya az-Ziriklî (ejaan b. Inggris Al-Zerekly), op.cit. VI/257.
[26] Lihat Târîkh al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Su’ûdiyyah, op.cit. tentang sejarah berdirinya nagara Saudi Arabia, baik di jilid I maupun II. Lihat pula ‘Unwân al-Majd fî Târîkh Najed.
[27] Lihat Târîkh Najed dimaksud juz II hlm. 3-20, op.cit.
[28] Ibid II/6-7.
[29] Lihat kitab tersebut pada juz I, op.cit. mulai hal. 50-60, juga hlm. 95-175.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3912-siapa-syaikh-muhammad-bin-abdul-wahhab.html